Pages

Jumat, 21 September 2012

"Sekedar Harapan di Angkota Nomor 5”


Terik panas matahari hari ini membuatku tak bersemangat. Keringat menetes membasahi tubuh dan menghilangkan bau harumku. Lesu, letih, dan lelah. Masih duduk terdiam mengikuti pelajaran sekolah yang sebenarnya mengasyikan, tapi entah mengapa kali ini terasa sangat membosankan. Ya, pelajaran matematika. Sebagian besar pelajar yang tidak menyukainya. Namun walaupun aku sendiri tidak terlalu bisa dalam pelajaran ini, aku sangat menyukainya.
Tanganku yang menggenggam pensil terus bergerak. Entah apa yang ingin ku tulis, aku sendiri tidak mengerti. Hanya coretan tanpa aturan dan tidak bermakna.  Apalagi pikiranku sedang sangat malas untuk berpikir.
“Teeeeeeeeeeetttt”, sepertinya kedua telingaku mendengar suara yang sangat ditunggu oleh para siswa. Ternyata memang benar. Kedua telingaku mendengar bel pulang sekolah yang terdengar sangat menyenangkan. Namun, tubuh ini rasanya tak ingin beranjak dari tempat duduk. Membayangkan betapa lelahnya otakku apabila aku masih harus mengikuti les di luar sekolah untuk mengejar nilai-nilaiku agar aku dapat mengalahkan nilai teman teman yang memang lebih tinggi dari aku. Aku sangat ingin mengalahkan mereka. Banyak nilaiku yang jauh dibawah batas tuntas. Sangat menyedihkan.
Alex, ayo … langit sudah tampak gelap, kalau kita tidak berangkat sekarang, bisa-bisa kita akan kehujanan.”
Ajakan Wilson, teman sebangkuku yang membuyarkan pikiran otakku. Mau tak mau tubuhku ini harus berdiri dan berjalan menuju tempat les yang aku ikuti. Titik-titik hujan mulai jatuh saat aku dan Wilson sudah duduk di angkota nomor 2. Wilson adalah teman yang sejak di sekolah dasar satu kelas dengan aku. Sama seperti saat ini, kami sama-sama duduk di kelas IX. Sangat senang bahwa saat SMP pun kami dapat duduk satu bangku lagi.  Tak akan bosan aku menjadi teman sebangkunya. Dia tahu banyak hal tentang aku. Jelas saja, kami bersama kira-kira hampir 9 tahun. Dia tahu bagaimana sikapku ketika aku sedang senang, ketika aku sedang sedih, dan ketika aku sedang marah. Bahkan ketika aku sedang malaspun dia sangat tahu. Tak perlu bertanya lagi padaku, dia tahu hari ini aku sedang sangat malas. Wilson memang seorang sahabat yang sangat baik.
Aku duduk di bangku depan ketika aku mengikuti les fisika. Berharap agar konsentrasiku kembali muncul dan mengembalikan semangat belajarku. Namun nyatanya sama saja, konsentrasiku hilang entah pergi kemana. Hujan semakin deras. Hawa dingin merasuk ke tulang. Suara ibu guru cantik yang mengenakan kerudung merah sesuai dengan pakaiannya terdengar sedang menjelaskan. Suara itu hanya berlalu lalang di telingaku dan tak sedikitpun terekam di otakku. Ku lirik jam tangan murah berwarna hitamku. Saat kulihat dengan seksama, terasa jarumnya berputar sangat lambat. Lima belas menit berlalu. Menggerakkan tangan hanya untuk mencatat. Tiga puluh menit berlalu. Ingin cepat-cepat aku berdiri untuk melemparkan tubuhku ini ke tempat tidurku.
Berjalan sendiri. Tak biasa aku berjalan sendirian seperti ini. Membiarkan tubuhku basah terkena air hujan. Menunggu angkot dengan tatapan kosong. Beberapa menit berdiri di tepi jalan, akhirnya angkota yang kutunggu berhenti tepat di depanku. Aku menaiki angkota nomor 5 tanpa perasaan apa-apa. Duduk melamun di depan pintu  angkota. Saat kupalingkan wajahku, mataku terpaku melihat gadis itu. Tak sadar mataku dan matanya bertemu. Berbicara beberapa saat. Seakan bercerita banyak hal setelah sekian lama tidak bertemu. Gadis itu masuk ke dalam angkota dan kini duduk di sampingku. Gadis mengenakan seragam putih biru, mengenakan jaket putih bergaris merah, membawa tas ransel biru muda, di tangan kanannya menempel jam putih , dan sepatu putihnya membuatnya terlihat semakin cantik. Tangannya masih membawa tas biru muda itu dan membawa buku-buku di pangkuannya yang membuatku kembali berada di masa itu. Masa dimana aku selalu memperhatikannya saat membaca buku. Tak sengaja membuatku sedikit tersenyum. Ya, dia temanku saat berada di bangku SMP kelas VII. Lebih tepatnya mantan kekasihku.  Aku sangat menyukainya sejak pertama kali aku melihatnya berada satu kelas dengan aku di kelas VII. Hatiku berdegup sangat kencang ketika aku kembali tersadar bahwa ia duduk di sampingku. Tepatnya di sebelah kiriku.  Ku tutupi detak jantungku dengan tas ransel hitamku agar tak terlihat olehnya detak jantungku yang berdegup sangat kencang. Aku hanya diam terpaku.
“Baru pulang?” Tanyanya singkat membuat tenggorokanku terasa kering sehingga sulit untuk bicara. Entah apa maksudnya bertanya seperti itu. Hanya basa-basi saja atau memang dia benar-benar ingin tahu.
“Hm.. Aku baru saja mengikuti les di luar sekolah. Jadi baru bisa pulang.” Jawabku gugup.
Otakku terus mencari pertanyaan apa yang akan kutanyakan padanya. Aku tak mungkin menanyakan pertanyaan yang sama padanya karena aku tahu kini ia bersekolah di sekolah yang setiap harinya belajar lebih dari delapan jam pelajaran. Ia selalu pulang kira-kira pukul 15.00 tapi hari Sabtu diliburkan sehingga ia selalu pulang sore hari. Namun tiba-tiba suaranya yang terdengar sangat halus menghentikan aktivitas otakku yang sedang mencari pertanyaan.
“Ikut les apa? “
“Fisika.”
“Oh,.”
“Iya,  lihat nilai-nilai aja, emang kurang. Tumben naik nomor 5?”
Suaraku sudah tidak terdengar gugup. Mungkin ia melihat wajah keherananku karena dia tahu bahwa aku ingat dia selalu naik angkota nomor 10 apabila pulang ke rumah. Dia memasang sedikit senyum manis dibibirnya yang membuatnya semakin terlihat cantik.
“Iya, memang sekarang aku lebih sering naik angkota nomor 5.”
“Oh. Kok kita jarang ketemu ya?
“Iya, jarang banget”
Di dalam hati aku bertanya ‘mengapa baru bertemu sekarang?’ Namun tak ada gunanya bertanya-tanya sendiri di dalam hati. Suasana hening. Kami tak saling berpandangan dan sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Duduk di dalam angkota yang sama dengan seorang yang sangat aku sukai sejak aku duduk di bangku kelas VII dan mungkin saat ini pun aku masih menyukainya. Walaupun sedikit.
“Ikut Olimpiade IPA ya?” Pertanyaan yang hanya basa-basi saja karena sebenarnya aku tahu bahwa ia mengikuti olimpiade tersebut.
“Iya.”
“Gimana pengumumannya?”
“Belum tahu. Hehehe”
“Lho?”
“Hahaha emang belum tahu, yang penting pengalamannya lah. Kamu turun di Asia ya?”
“Iya. Kamu turun di PDI ya?”
“Hmm …”
Mengapa angkota ini berjalan sangat cepat? Padahal aku ingin berada di dalam angkota lebih lama bersamanya.
“Aku duluan ya.” Kataku terlihat kecewa.
Rasanya aku tak ingin beranjak dari tempat dudukku sekarang. Tak ingin kuucapkan kata-kata itu. Tapi aku harus turun.
Tak kusadari aku berjalan menuju rumah dengan memasang senyumku. Aku senang bisa mengobrol dengannya lagi. Aku membuka pintu rumah yang masih terkunci sambil mencari ponsel di saku bajuku. Kulihat layar ponsel hitam abu-abu itu, tapi tak ada pesan satu pun. Ingin rasanya aku mengirimkan pesan singkat kepadanya, tapi entah mengapa rasa gengsiku terlalu besar. Aku meninggalkan ponsel di atas meja belajar yang berada  di kamarku. Cepat-cepat aku membersihkan badan, makan, dan bersiap untuk tidur karena aku merasa lelah hari ini. Aku lemparkan tubuhku di atas tempat tidur dan saat kulihat layar ponselku tertulis nama Talita. Ya, gadis yang aku sukai sejak kelas VII itu. Amanda Clara Talita. Entah karena apa, aku selalu ingat nama yang panjang itu. Tak sadar aku tersenyum lebar dan wajahku yang tadinya muram kini terlihat lebih ceria. Di dalam pesan singkatnya ia menuliskan : ‘Aku ngga sombong kan?’. Ah, membahagiakan.
Tubuhku sejak tadi sudah berada dalam posisi tidur. Namun setiap aku berusaha memejamkan mata, selalu senyum manisnya yang terlintas dibayanganku. Wajah cantiknya akan semakin terlihat cantik apabila ia tersenyum. Andai aku bisa menikmati senyum itu setiap hari. Itu hanya mimpi bagiku.
Saat kubuka mataku, ternyata tanganku masih memegang ponsel. Kulihat layar ponsel lagi. Aku tak ingin tersenyum. Tidak ada balasan pesan singkat darinya setelah aku mengirimkan pesanku kepadanya. Rasanya aku ingin meneleponnya, tapi apa daya lagi-lagi gengsiku terlalu besar. Lagipula aku tidak memiliki cukup banyak pulsa untuk meneleponnya. Maklum saja, aku bukan dari keluarga yang berkelebihan. Tepatnya keluarga yang sangat sederhana. Walaupun terkadang tidak semua kebutuhanku dapat terpenuhi, tapi aku sudah merasa cukup. Aku merasa sangat cukup. Ayah dan ibu yang bekerja sebagai guru. Dan kakak adik yang jarang terlihat bertengkar, itu membuatku merasa cukup. Cukup bahagia.
Setelah doa pagi, aku beranjak dari tempat tidur untuk memulai aktivitasku hari ini. Hari Selasa. Aku tidak terlalu suka dengan hari ini. Tentunya karena ada mata pelajaran Fisika. Entah mengapa aku tidak terlalu suka dengan pelajaran Fisika. Ah mungkin karena nilai-nilaiku di mata pelajaran ini tidak terlalu baik.
Pukul 07.00 pelajaran Fisika dimulai. Ragaku duduk di barisan kursi paling belakang, seperti biasanya Wilson duduk di samping kananku. Namun, pikiranku sedang tak bersama ragaku. Pikiranku terus berjalan ke arahnya. Ke arah gadis itu. Mengapa aku selalu ingat hal-hal kecil tentangnya. Aku begitu kagum ketika aku tahu Gadis yang membuat jantungku selalu berdegup kencang apabila aku duduk dekat dengannya itu menyukai mata pelajaran Fisika. Nilai-nilanya membuatku sangat kagum. Berbalik 180 derajat dengan aku. Aku selalu ingin bisa sama sepertinya, jago dalam mata pelajaran IPA. Saat ini, seakan pikiranku hanya tertuju padanya. Aku ingat lagi bahwa dulu saat kami masih kelas VII, saat mata pelajaran Bahasa Indonesia sedang membahas tentang pantun, aku pernah membuat sebuah pantun yang hingga kini aku tetap mengingatnya, tepatnya pantun untuknya.
Pergi ke Jogja berburu keris
Keris dipakai membunuh hiu
Jika kamu mengerti Bahasa Inggris
Apa arti kata: I love you?
Saat bel pulang sekolah berbunyi, kami bertiga ¾ aku, Wilson, dan Sony, teman sekelasku kompak beranjak dari tempat duduk untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, basket
Aku pulang kira-kira pukul 16.30. Lita sudah tidak berputar-putar lagi di otakku. Ya, aku memanggil Talita dengan panggilan Lita karena itu terdengar lebih pendek. Di pikiran hanya terlintas aku ingin segera pulang ke rumah. Sangat kesal aku salah memilih angkota nomor 5. Aku memasuki angkota yang sudah penuh sesak. Mau tak mau aku harus duduk berdesak-desakan. Aku tak sadar ketika angkota yang ku naiki berhenti dan menaikkan seorang penumpang lagi. Setelah kusadari, ternyata aku mengenal Gadis itu. Lita. Terima kasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan kami di angkota nomor 5 lagi. Langsung saja aku beri senyumku kepadanya walaupun menurutku aku tidak bisa tersenyum sama sekali.
“Pulang sore lagi?”
“Iya, tadi habis basket dulu.”
“Oh. Kok bisa ya kita ketemu lagi di angkota nomor 5?”
“Hahaha aku juga tidak tahu.”
“Wah sepertinya kita jodoh ya?”
“Ha?” Rasanya telingaku ingin mendengar kata-kata itu lagi.
Walaupun kami berada dalam angkota yang sangat penuh sesak, tapi kami masih tetap bisa mengobrol. Dia bercerita tentang lomba menggitar yang akan diikutinya. Tentu saja aku ingat bahwa ia sering mengikuti lomba menggitar seperti itu. Aku ingat ketika kami masih kelas VII, ia pernah mengikuti lomba menggitar di Bandung. Saat Lita diantar ke terminal bus oleh orangtua dan adiknya, ia mengirimkan pesan singkat kepadaku: ‘Seandainya kamu bisa ikut mengantarku ke terminal bus.’ Saat aku membacanya, aku juga sangat ingin berada di terminal bus itu. Namun, aku hanya bisa membalas pesannya dengan perasaan sedih: ‘Hati-hati ya. Kamu pasti bisa. Good luck.’
“Kamu datang ya ke lomba besok.” Suaranya mengagetkanku.
“Dimana? Kapan sih? Kalau aku bisa, pasti aku datang.”
“Besok jam 16.00 di Sekolahku. Datang ya.”
“Oke.”
Keesokan harinya wajahku sangat muram setelah aku ketahui bahwa sepulang sekolah aku harus mengikuti les lagi. Padahal aku sudah berjanji untuk datang ke sekolah Lita.
Pukul 16.10 aku masih bersama teman-teman sekolahku. Kulirik jam tanganku ternyata aku sudah terlambat. Aku langsung berlari dan meninggalkan teman-temanku. Aku terus berlari menuju sekolahnya tanpa memikirkan kelelahanku. Mataku terus berputar mencari dimana ia berada. Mataku berhenti pada gadis cantik yang mengenakan kaos bergambar kan tokoh kartun spongebob. Dia Lita. Ia tersenyum ketika melihatku sudah berdiri di gedung itu.
 Ketika ia telah selesai, ia menghampiriku dan mengucapkan terima kasihnya atas kedatanganku. Sebelum pulang, Lita menawarkan untuk jalan. Aku menikmati suasana itu. Suasana romantis yang sejak dulu aku inginkan. Duduk berdua dengannya bercerita banyak tentang hubungan kami dulu. Kurasa aku jatuh cinta lagi dengannya. Mengapa aku pernah memutuskan hubungan kami? Aku sangat menyesalinya sekarang. Aku benar-benar mencintainya. Namun apakah dia juga menyimpan rasa yang sama sepertiku?
Dalam perjalanan itu, ia banyak bertanya bagaimana perasaan seorang lelaki terhadap lawan jenisnya. Lita bertanya bagaimana sikap seorang Lelaki apabila ia mendekatinya. Ia juga bertanya tentang apa saja yang disenangi seorang lelaki. Yang membuatku terkejut, ia juga bertanya apa yang disenangi seorang lelaki dari seorang gadis.
Mungkinkah aku yang ia maksud? Ah hanya mimpi kalau laki-laki yang ia maksud adalah aku. Aku terlalu percaya diri. Namun aku sangat berharap laki-laki itu adalah aku.  Aku pun pulang dengan hati yang gembira, tapi penuh rasa penasaran.
Hari demi hari, aku semakin lebih dekat dengannya. Terasa dunia hanya milik kami berdua. Aku suka cara dia bermain gitar. Aku suka cara dia berkata-kata. Aku suka cara dia menghargai seorang laki-laki. Aku suka semua hal tentangnya. Saat ia berada di rumahku, ia menyanyikan salah satu lagu barat dengan gitar favoritnya. Aku sangat suka permainan melodinya. Aku merasa semakin mencintainya.
Tiba-tiba ia menyanyikan sebuah lagu dari salah satu band di Indonesia:
Sudah katakan cinta
Sudah kubilang sayang
Namun kau hanya diam
Tersenyum kepadaku
Kau buat aku bimbang
Kau buat aku gelisah
Ingin rasanya kau jadi milikku
Jantungku seakan berhenti berdetak. Apakah dia benar-benar tulus menyanyikannya untukku? Atau aku hanya bermimpi? Nyatanya ia benar-benar sedang duduk di sampingku memegang gitarnya. Ingin aku mendengar lagi ia menyanyikannya. Jika ia sedang tidak bercanda menyanyikannya, entah apa yang akan aku lakukan. Aku terlalu bahagia bila aku menjadi kekasih hatinya. Dia terlalu sempurna untukku. Walaupun aku tahu tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.
“Bagaimana menurutmu? Lagunya bagus kan?”
“Ha? Bagus kok. Hmm.. Pasti. Apalagi permainan gitarmu sangat bagus.”
“Nanti sore kamu ikut makan-makan sama temen-temen ya, aku akan menyanyikan lagu ini pada Sony. Kamu sudah tahu orangnya kan? Sewaktu kita berada di sekolah. Aku menunjukkan lelaki yang memakai kaos bergambar tokoh kartun Patrick. Apa kau ingat?”
“Ya aku ingat.”
Seketika itu juga tubuhku lemas tak bertenaga. Selama ini aku salah. Bukan aku laki-laki itu. Namun Sony. Mengapa aku baru sadar bahwa saat lomba itu, ia memakai kaos bergambar tokoh kartun Spongebob dan itu ada hubungannya dengan Sony yang memakai kaos bergambar tokoh kartun Patrick. Betapa tololnya aku mencintai orang yang mencintai orang lain.
“Apa kau tidak apa-apa?” Tanyanya padaku penuh heran karena ia melihat raut wajahku yang tiba-tiba pucat.
“Ya aku tak apa-apa.”
Suasana berubah sangat cepat, semua rasa yang kurasa selama ini ternyata tidak ada artinya untuknya memang salah aku masih mengharapkan kehadirannya di hidupku seperti yang dulu.
Lita cepat-cepat pulang dari rumahku. Mungkin ia ingin mempersiapkan diri. Mengapa tubuhku masih tak bertenaga. Tak bisa aku menahannya. Aku ingin berteriak. Aku kesal mengapa aku terlalu berharap bahwa Lita juga mencintai aku? Aku bodoh. Aku tak berpikir bahwa aku tidak pantas untuk mencintainya. Aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Aku hanya bisa terdiam.
Beberapa jam setelah itu ponselku bordering dengan nyaringnya seakan memanggil-manggilku untuk mengangkat telepon itu, namun tubuhku masih lemas dan tidak berdaya untuk meraih ponsel itu. Dengan kekuatan seadanya akupun melihat ponsel  itu dan tak kusangka ternyata Sony meneleponku, kuangkat dengan perlahan dan terdengar suaranya menanyakan.
“Ah, kau kan teman baikku kan? Pasti kau mau membantuku menyiapkan kejutan nanti sore?”
Kejutan ? Pasti lah. Aku akan membantumu, emang bantu ngapain sih?”
Aku minta tolong aku kan mau ngasih kejutan sama Lita, jadi belikan mawar berwarna kuning satu batang saja dan satu boneka Spongebob karena Lita sangat menyukai tokoh kartun Spongebob.”
“Oke.” Jawabku dengan terpaksa
Menyesali perasaanku sendiri. Perasaan yang tak berarti lagi. Namun, aku sudah berjanji kepadanya untuk membantunya menyiapkan rencananya itu. Aku berdiri dan berjalan ke toko bunga. Aku melihat sebatang bunga mawar kuning yang terpajang di etalase toko bunga itu. Tanpa pikir panjang, aku langsung membelinya. Kemudian aku pergi ke toko boneka di seberang jalan toko bunga. Aku membeli boneka sesuai perintah Sony.
Semua telah siap. Aku, Sony, dan teman-teman kami, berada di sebuah kafe yang sudah kami persiapkan untuk memberi kejutan pada Lita. Kafe yang sudah dihiasi dengan pernak-pernik bernuansa kuning. Wah, tak kubayangkan betapa bahagianya Lita apabila mendapat kejutan ini.
Lita kemudianpun datang sambil menyanyikan lagu yang telah ia persiapkan:
Sudah katakan cinta
Sudah kubilang sayang
Namun kau hanya diam
Tersenyum kepadaku
Kau buat aku bimbang
Kau buat aku gelisah
Ingin rasanya kau jadi milikku
 “Apa aku boleh memanggilmu dengan sebutan pacarku?” Kata-kata itu terucap dari bibir Sony sambil memberikan bunga dan boneka. Mungkin ia sudah berlatih di depan cermin untuk berbicara kepada Lita sehingga tidak terlihat gugup, tidak seperti aku yang selalu gugup bila berada di dekatnya.
Aku mendengar Lita menyanyikan lagu itu lagi. Namun, ia menyanyikannya untuk lelaki yang benar-benar ia cintai. Bukan aku. Sony teman baikku laki-laki yang beruntung. Pasti saja Lita menerima permintaan Sony untuk menjadi kekasih hatinya.
“Aku ingin sekali mengambil boneka ini, karena aku juga sangat mencintaimu. Apakah aku juga boleh memanggilmu dengan sebutan pacarku?” Lita menjawab dengan yakin.
 “Hmm pasti. Terima kasih Lita. Kamu sudah mengijinkan aku untuk menjadi pacarmu.”
Seharusnya aku juga bahagia melihat orang yang aku cintai juga bahagia walaupun bersama orang lain. Aku memang harus belajar tersenyum melihat mereka bahagia. Air mataku tak terbendung lagi. Aku menangis di tempat itu. Saat Lita melihatku menangis, ia menghampiriku. Aku memeluknya sangat erat.
“Kau kenapa?”
“Aku bahagia.”
“Terima kasih kau mau membantuku.”
“Tentu saja aku mau. Kau kan temanku”
Aku tak ingin melepas pelukan ini. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Lita sudah bersama Sony.
Aku membuka buku. Aku menyelipkan foto yang aku ambil secara diam-diam, fotonya saat sedang bermain gitar. Senyumnya di dalam foto itu yang membuatku kembali mencintainya. Ya, aku mengakui bahwa aku sangat hancur ketika aku tahu ia mencintai Sony. Namun, apa dayaku? Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku juga harus bahagia walaupun aku tak bersamanya.
I love you more than any word can say
I love you more than every action I take
I will be right here loving you till the end

2 komentar: