Terik
panas matahari hari ini membuatku tak bersemangat. Keringat menetes membasahi
tubuh dan menghilangkan bau harumku. Lesu, letih, dan lelah. Masih duduk
terdiam mengikuti pelajaran sekolah yang sebenarnya mengasyikan, tapi entah
mengapa kali ini terasa sangat membosankan. Ya, pelajaran matematika. Sebagian
besar pelajar yang tidak menyukainya. Namun walaupun aku sendiri tidak terlalu
bisa dalam pelajaran ini, aku sangat menyukainya.
Tanganku
yang menggenggam pensil terus bergerak. Entah apa yang ingin ku tulis, aku
sendiri tidak mengerti. Hanya coretan tanpa aturan dan tidak bermakna. Apalagi pikiranku sedang sangat malas untuk
berpikir.
“Teeeeeeeeeeetttt”,
sepertinya kedua telingaku mendengar suara yang sangat ditunggu oleh para
siswa. Ternyata memang benar. Kedua telingaku mendengar bel pulang sekolah yang
terdengar sangat menyenangkan. Namun, tubuh ini rasanya tak ingin beranjak dari
tempat duduk. Membayangkan betapa lelahnya otakku apabila aku masih harus
mengikuti les di luar sekolah untuk mengejar nilai-nilaiku agar aku dapat
mengalahkan nilai teman teman yang memang lebih tinggi dari aku. Aku sangat
ingin mengalahkan mereka. Banyak nilaiku yang jauh dibawah batas tuntas. Sangat
menyedihkan.
“Alex, ayo … langit sudah tampak gelap,
kalau kita tidak berangkat sekarang, bisa-bisa kita akan kehujanan.”
Ajakan
Wilson, teman sebangkuku yang membuyarkan pikiran otakku. Mau tak mau tubuhku
ini harus berdiri dan berjalan menuju tempat les yang aku ikuti. Titik-titik
hujan mulai jatuh saat aku dan Wilson sudah duduk di angkota nomor 2. Wilson
adalah teman yang sejak di sekolah dasar satu kelas dengan aku. Sama seperti
saat ini, kami sama-sama duduk di kelas IX.
Sangat senang bahwa saat SMP
pun kami dapat duduk satu bangku lagi.
Tak akan bosan aku menjadi teman sebangkunya. Dia tahu banyak hal
tentang aku. Jelas saja, kami bersama kira-kira hampir 9 tahun. Dia tahu bagaimana sikapku
ketika aku sedang senang, ketika aku sedang sedih, dan ketika aku sedang marah.
Bahkan ketika aku sedang malaspun dia sangat tahu. Tak perlu bertanya lagi
padaku, dia tahu hari ini aku sedang sangat malas. Wilson memang seorang
sahabat yang sangat baik.
Aku
duduk di bangku depan ketika aku mengikuti les fisika. Berharap agar
konsentrasiku kembali muncul dan mengembalikan semangat belajarku. Namun
nyatanya sama saja, konsentrasiku hilang entah pergi kemana. Hujan semakin
deras. Hawa dingin merasuk ke tulang. Suara ibu guru cantik yang mengenakan
kerudung merah sesuai dengan pakaiannya terdengar sedang menjelaskan. Suara itu
hanya berlalu lalang di telingaku dan tak sedikitpun terekam di otakku. Ku
lirik jam tangan murah berwarna hitamku.
Saat kulihat dengan seksama, terasa jarumnya berputar sangat lambat. Lima belas
menit berlalu. Menggerakkan tangan hanya untuk mencatat. Tiga puluh menit
berlalu. Ingin cepat-cepat aku berdiri untuk melemparkan tubuhku ini ke tempat
tidurku.
Berjalan
sendiri. Tak biasa aku berjalan sendirian seperti ini. Membiarkan tubuhku basah
terkena air hujan. Menunggu angkot dengan tatapan kosong. Beberapa menit
berdiri di tepi jalan, akhirnya angkota yang kutunggu berhenti tepat di
depanku. Aku menaiki angkota nomor 5 tanpa perasaan apa-apa. Duduk melamun di
depan pintu angkota. Saat kupalingkan
wajahku, mataku terpaku melihat gadis itu. Tak sadar mataku dan matanya
bertemu. Berbicara beberapa saat. Seakan bercerita banyak hal setelah sekian
lama tidak bertemu. Gadis itu masuk ke dalam angkota dan kini duduk di
sampingku. Gadis mengenakan seragam putih biru, mengenakan jaket putih bergaris
merah, membawa tas ransel biru muda, di tangan kanannya menempel jam putih ,
dan sepatu putihnya
membuatnya
terlihat semakin cantik. Tangannya masih membawa tas biru muda itu dan membawa
buku-buku di pangkuannya yang membuatku kembali berada di masa itu. Masa dimana
aku selalu memperhatikannya saat membaca buku. Tak sengaja membuatku sedikit
tersenyum. Ya, dia temanku saat berada di bangku SMP kelas VII. Lebih tepatnya mantan
kekasihku. Aku sangat menyukainya sejak
pertama kali aku melihatnya berada satu kelas dengan aku di kelas VII. Hatiku berdegup sangat kencang ketika
aku kembali tersadar bahwa ia duduk di sampingku. Tepatnya di sebelah
kiriku. Ku tutupi detak jantungku dengan
tas ransel hitamku agar tak terlihat olehnya detak jantungku yang berdegup
sangat kencang. Aku hanya diam terpaku.
“Baru
pulang?” Tanyanya singkat membuat tenggorokanku terasa kering sehingga sulit
untuk bicara. Entah apa maksudnya bertanya seperti itu. Hanya basa-basi saja
atau memang dia benar-benar ingin tahu.
“Hm..
Aku baru saja mengikuti les di luar sekolah. Jadi baru bisa pulang.” Jawabku
gugup.
Otakku
terus mencari pertanyaan apa yang akan kutanyakan padanya. Aku tak mungkin
menanyakan pertanyaan yang sama padanya karena aku tahu kini ia bersekolah di
sekolah yang setiap harinya belajar lebih dari delapan jam pelajaran. Ia selalu
pulang kira-kira pukul 15.00 tapi hari Sabtu diliburkan sehingga ia selalu
pulang sore hari. Namun tiba-tiba suaranya yang terdengar sangat halus menghentikan
aktivitas otakku yang sedang mencari pertanyaan.
“Ikut
les apa? “
“Fisika.”
“Oh,.”
“Iya,
lihat nilai-nilai aja, emang kurang.
Tumben naik nomor 5?”
Suaraku
sudah tidak terdengar gugup. Mungkin ia melihat wajah keherananku karena dia tahu bahwa aku ingat dia selalu naik angkota
nomor 10 apabila pulang ke rumah. Dia memasang sedikit senyum manis dibibirnya
yang membuatnya semakin terlihat cantik.
“Iya,
memang sekarang aku lebih sering naik angkota nomor 5.”
“Oh. Kok kita jarang ketemu ya?”
“Iya, jarang banget”
Di
dalam hati aku bertanya ‘mengapa baru bertemu sekarang?’ Namun tak ada gunanya
bertanya-tanya sendiri di dalam hati. Suasana hening. Kami tak saling
berpandangan dan sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
Aku
tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Duduk di dalam angkota yang sama
dengan seorang yang sangat aku sukai sejak aku duduk di bangku kelas VII dan
mungkin saat ini pun aku masih menyukainya. Walaupun sedikit.
“Ikut
Olimpiade IPA ya?” Pertanyaan yang hanya basa-basi saja karena sebenarnya aku
tahu bahwa ia mengikuti olimpiade tersebut.
“Iya.”
“Gimana
pengumumannya?”
“Belum
tahu. Hehehe”
“Lho?”
“Hahaha
emang belum tahu, yang penting pengalamannya lah. Kamu turun di Asia ya?”
“Iya.
Kamu turun di PDI ya?”
“Hmm
…”
Mengapa
angkota ini berjalan sangat cepat? Padahal aku ingin berada di dalam angkota
lebih lama bersamanya.
“Aku
duluan ya.” Kataku terlihat kecewa.
Rasanya
aku tak ingin beranjak dari tempat dudukku sekarang. Tak ingin kuucapkan
kata-kata itu. Tapi aku harus turun.
Tak
kusadari aku berjalan menuju rumah dengan memasang senyumku. Aku senang bisa
mengobrol dengannya lagi. Aku membuka pintu rumah yang masih terkunci sambil
mencari ponsel di saku bajuku. Kulihat layar ponsel hitam abu-abu itu, tapi tak
ada pesan satu pun. Ingin rasanya aku mengirimkan pesan singkat kepadanya, tapi
entah mengapa rasa gengsiku terlalu besar. Aku meninggalkan ponsel di atas meja
belajar yang berada di kamarku.
Cepat-cepat aku membersihkan badan, makan, dan bersiap untuk tidur karena aku
merasa lelah hari ini. Aku lemparkan tubuhku di atas tempat tidur dan saat kulihat
layar ponselku tertulis nama Talita. Ya, gadis yang aku sukai sejak kelas VII itu. Amanda Clara Talita. Entah karena apa, aku
selalu ingat nama yang panjang itu. Tak sadar aku tersenyum lebar dan wajahku
yang tadinya muram kini terlihat lebih ceria. Di dalam pesan singkatnya ia
menuliskan : ‘Aku ngga sombong kan?’.
Ah, membahagiakan.
Tubuhku
sejak tadi sudah berada dalam posisi tidur. Namun setiap aku berusaha
memejamkan mata, selalu senyum manisnya yang terlintas dibayanganku. Wajah
cantiknya akan semakin terlihat cantik apabila ia tersenyum. Andai aku bisa
menikmati senyum itu setiap hari. Itu hanya mimpi bagiku.
Saat
kubuka mataku, ternyata tanganku masih memegang ponsel. Kulihat layar ponsel
lagi. Aku tak ingin tersenyum. Tidak ada balasan pesan singkat darinya setelah
aku mengirimkan pesanku kepadanya. Rasanya aku ingin meneleponnya, tapi apa
daya lagi-lagi gengsiku terlalu besar. Lagipula aku tidak memiliki cukup banyak
pulsa untuk meneleponnya. Maklum saja, aku bukan dari keluarga yang
berkelebihan. Tepatnya keluarga yang sangat sederhana. Walaupun terkadang tidak
semua kebutuhanku dapat terpenuhi, tapi aku sudah merasa cukup. Aku merasa
sangat cukup. Ayah dan ibu yang bekerja sebagai guru. Dan kakak adik yang
jarang terlihat bertengkar, itu membuatku merasa cukup. Cukup bahagia.
Setelah
doa pagi, aku beranjak dari tempat tidur untuk memulai aktivitasku hari ini.
Hari Selasa. Aku tidak terlalu suka dengan hari ini. Tentunya karena ada mata
pelajaran Fisika. Entah mengapa aku tidak terlalu suka dengan pelajaran Fisika.
Ah mungkin karena nilai-nilaiku di mata pelajaran ini tidak terlalu baik.
Pukul
07.00 pelajaran Fisika dimulai. Ragaku duduk di barisan kursi paling belakang,
seperti biasanya Wilson duduk di samping kananku. Namun, pikiranku sedang tak
bersama ragaku. Pikiranku terus berjalan ke arahnya. Ke arah gadis itu. Mengapa
aku selalu ingat hal-hal kecil tentangnya. Aku begitu kagum ketika aku tahu Gadis
yang membuat jantungku selalu berdegup kencang apabila aku duduk dekat
dengannya itu menyukai mata pelajaran Fisika. Nilai-nilanya membuatku sangat
kagum. Berbalik 180 derajat dengan aku. Aku selalu ingin bisa sama sepertinya,
jago dalam mata pelajaran IPA. Saat ini, seakan pikiranku hanya tertuju
padanya. Aku ingat lagi bahwa dulu saat kami masih kelas VII, saat mata pelajaran Bahasa Indonesia
sedang membahas tentang pantun, aku pernah membuat sebuah pantun yang hingga
kini aku tetap mengingatnya, tepatnya pantun untuknya.
Pergi ke Jogja berburu keris
Keris dipakai membunuh hiu
Jika kamu mengerti Bahasa Inggris
Apa arti kata: I love you?
Saat
bel pulang sekolah berbunyi, kami bertiga ¾
aku, Wilson, dan Sony, teman sekelasku kompak beranjak dari tempat duduk untuk
mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, basket
Aku
pulang kira-kira pukul 16.30. Lita sudah tidak berputar-putar lagi di otakku.
Ya, aku memanggil Talita dengan panggilan Lita karena itu terdengar lebih
pendek. Di pikiran hanya terlintas aku ingin segera pulang ke rumah. Sangat
kesal aku salah memilih angkota nomor 5. Aku memasuki angkota yang sudah penuh
sesak. Mau tak mau aku harus duduk berdesak-desakan. Aku tak sadar ketika
angkota yang ku naiki berhenti dan menaikkan seorang penumpang lagi. Setelah kusadari,
ternyata aku mengenal Gadis itu. Lita. Terima kasih Tuhan, Engkau telah
mempertemukan kami di angkota nomor 5 lagi. Langsung saja aku beri senyumku
kepadanya walaupun menurutku aku tidak bisa tersenyum sama sekali.
“Pulang
sore lagi?”
“Iya,
tadi habis basket dulu.”
“Oh.
Kok bisa ya kita ketemu lagi di angkota nomor 5?”
“Hahaha
aku juga tidak tahu.”
“Wah
sepertinya kita jodoh ya?”
“Ha?”
Rasanya telingaku ingin mendengar kata-kata itu lagi.
Walaupun
kami berada dalam angkota yang sangat penuh sesak, tapi kami masih tetap bisa
mengobrol. Dia bercerita tentang lomba menggitar yang akan diikutinya. Tentu saja aku ingat
bahwa ia sering mengikuti lomba
menggitar
seperti itu. Aku ingat ketika kami masih kelas VII, ia pernah mengikuti lomba menggitar di Bandung. Saat Lita diantar
ke terminal bus oleh orangtua dan adiknya, ia mengirimkan pesan singkat
kepadaku: ‘Seandainya kamu bisa ikut mengantarku ke terminal bus.’ Saat aku
membacanya, aku juga sangat ingin berada di terminal bus itu. Namun, aku hanya
bisa membalas pesannya dengan perasaan sedih: ‘Hati-hati ya. Kamu pasti bisa. Good luck.’
“Kamu
datang ya ke lomba besok.” Suaranya mengagetkanku.
“Dimana?
Kapan sih? Kalau aku bisa, pasti aku datang.”
“Besok
jam 16.00 di Sekolahku.
Datang ya.”
“Oke.”
Keesokan
harinya wajahku sangat muram setelah aku ketahui bahwa sepulang sekolah aku
harus mengikuti les lagi. Padahal aku sudah berjanji untuk datang ke sekolah Lita.
Pukul
16.10 aku masih bersama teman-teman sekolahku. Kulirik jam tanganku ternyata
aku sudah terlambat. Aku langsung berlari dan meninggalkan teman-temanku. Aku
terus berlari menuju sekolahnya tanpa
memikirkan kelelahanku. Mataku terus berputar mencari dimana ia berada. Mataku
berhenti pada gadis cantik yang mengenakan kaos bergambar kan tokoh kartun spongebob.
Dia Lita. Ia tersenyum ketika melihatku sudah berdiri di gedung itu.
Ketika ia telah selesai, ia menghampiriku dan
mengucapkan terima kasihnya atas kedatanganku. Sebelum pulang, Lita menawarkan untuk jalan.
Aku menikmati suasana itu. Suasana romantis yang sejak dulu aku inginkan. Duduk
berdua dengannya bercerita banyak tentang hubungan kami dulu. Kurasa aku jatuh
cinta lagi dengannya. Mengapa aku pernah memutuskan hubungan kami? Aku sangat
menyesalinya sekarang. Aku benar-benar mencintainya. Namun apakah dia juga
menyimpan rasa yang sama sepertiku?
Dalam
perjalanan itu, ia banyak bertanya bagaimana perasaan seorang lelaki terhadap
lawan jenisnya. Lita bertanya bagaimana sikap seorang Lelaki apabila ia
mendekatinya. Ia juga bertanya tentang apa saja yang disenangi seorang lelaki. Yang
membuatku terkejut, ia juga bertanya apa yang disenangi seorang lelaki dari
seorang gadis.
Mungkinkah
aku yang ia maksud? Ah hanya mimpi kalau laki-laki yang ia maksud adalah aku.
Aku terlalu percaya diri. Namun aku sangat berharap laki-laki itu adalah aku. Aku pun pulang dengan hati yang gembira, tapi
penuh rasa penasaran.
Hari
demi hari, aku semakin lebih dekat dengannya. Terasa dunia hanya milik kami
berdua. Aku suka cara dia bermain
gitar.
Aku suka cara dia berkata-kata. Aku suka cara dia menghargai seorang laki-laki.
Aku suka semua hal tentangnya. Saat ia berada di rumahku, ia menyanyikan salah
satu lagu barat
dengan gitar favoritnya. Aku sangat suka permainan melodinya. Aku merasa semakin
mencintainya.
Tiba-tiba
ia menyanyikan sebuah lagu
dari salah satu band di Indonesia:
Sudah katakan cinta
Sudah kubilang sayang
Namun kau hanya diam
Tersenyum kepadaku
Kau buat aku bimbang
Kau buat aku gelisah
Ingin rasanya kau jadi milikku
Jantungku
seakan berhenti berdetak. Apakah dia benar-benar tulus menyanyikannya untukku?
Atau aku hanya bermimpi? Nyatanya ia benar-benar sedang duduk di sampingku
memegang gitarnya. Ingin aku mendengar lagi ia menyanyikannya. Jika ia sedang
tidak bercanda menyanyikannya, entah apa yang akan aku lakukan. Aku terlalu
bahagia bila aku menjadi kekasih hatinya. Dia terlalu sempurna untukku.
Walaupun aku tahu tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.
“Bagaimana
menurutmu? Lagunya bagus kan?”
“Ha?
Bagus kok. Hmm.. Pasti. Apalagi permainan gitarmu sangat bagus.”
“Nanti
sore kamu
ikut makan-makan sama temen-temen ya,
aku akan menyanyikan lagu ini
pada Sony. Kamu sudah tahu orangnya kan? Sewaktu kita berada di sekolah. Aku menunjukkan lelaki yang
memakai kaos bergambar tokoh kartun
Patrick.
Apa kau ingat?”
“Ya
aku ingat.”
Seketika
itu juga tubuhku lemas tak bertenaga. Selama ini aku salah. Bukan aku laki-laki itu. Namun Sony. Mengapa aku baru
sadar bahwa saat lomba itu, ia memakai kaos bergambar tokoh kartun Spongebob
dan itu ada hubungannya dengan Sony yang memakai kaos bergambar tokoh kartun Patrick.
Betapa tololnya aku mencintai orang yang mencintai orang lain.
“Apa
kau tidak apa-apa?” Tanyanya padaku penuh heran karena ia melihat raut wajahku
yang tiba-tiba pucat.
“Ya
aku tak apa-apa.”
Suasana
berubah sangat cepat,
semua rasa yang kurasa selama ini ternyata tidak ada artinya untuknya memang
salah aku masih mengharapkan kehadirannya di hidupku seperti yang dulu.
Lita
cepat-cepat pulang dari rumahku. Mungkin ia ingin mempersiapkan diri. Mengapa
tubuhku masih tak bertenaga. Tak bisa aku menahannya. Aku ingin berteriak. Aku
kesal mengapa aku terlalu berharap bahwa Lita juga mencintai aku? Aku bodoh.
Aku tak berpikir bahwa aku tidak pantas untuk mencintainya. Aku tidak bisa
mengontrol diriku sendiri. Aku hanya bisa terdiam.
Beberapa
jam setelah itu ponselku bordering
dengan nyaringnya seakan memanggil-manggilku untuk mengangkat telepon itu,
namun tubuhku masih
lemas dan tidak berdaya untuk meraih ponsel itu. Dengan kekuatan seadanya
akupun melihat ponsel itu dan tak
kusangka ternyata Sony meneleponku, kuangkat dengan perlahan dan terdengar
suaranya menanyakan.
“Ah,
kau kan teman baikku kan? Pasti kau mau membantuku menyiapkan kejutan nanti
sore?”
“Kejutan ? Pasti lah. Aku akan
membantumu, emang bantu ngapain sih?”
“Aku minta tolong aku kan mau ngasih kejutan sama Lita,
jadi belikan mawar berwarna kuning satu batang saja dan satu
boneka Spongebob karena Lita
sangat menyukai tokoh kartun Spongebob.”
“Oke.”
Jawabku dengan terpaksa
Menyesali
perasaanku sendiri. Perasaan yang tak berarti lagi. Namun, aku sudah berjanji
kepadanya untuk membantunya menyiapkan rencananya itu. Aku berdiri dan berjalan
ke toko bunga. Aku melihat sebatang bunga mawar kuning yang terpajang di
etalase toko bunga itu. Tanpa pikir panjang, aku langsung membelinya. Kemudian
aku pergi ke toko boneka di seberang jalan toko bunga. Aku membeli boneka
sesuai perintah Sony.
Semua
telah siap. Aku, Sony, dan teman-teman kami, berada di sebuah kafe yang sudah
kami persiapkan untuk memberi kejutan pada Lita. Kafe yang sudah dihiasi dengan
pernak-pernik bernuansa kuning. Wah, tak kubayangkan betapa bahagianya Lita
apabila mendapat kejutan ini.
Lita
kemudianpun datang
sambil menyanyikan lagu yang telah ia persiapkan:
Sudah katakan cinta
Sudah kubilang sayang
Namun kau hanya diam
Tersenyum kepadaku
Kau buat aku bimbang
Kau buat aku gelisah
Ingin rasanya kau jadi milikku
“Apa aku boleh memanggilmu dengan sebutan
pacarku?” Kata-kata itu terucap dari bibir Sony sambil memberikan bunga dan boneka.
Mungkin ia sudah berlatih di depan cermin untuk berbicara kepada Lita sehingga
tidak terlihat gugup, tidak seperti aku yang selalu gugup bila berada di
dekatnya.
Aku
mendengar Lita menyanyikan lagu itu lagi. Namun, ia menyanyikannya untuk lelaki
yang benar-benar ia cintai. Bukan aku. Sony teman baikku laki-laki
yang beruntung. Pasti saja Lita
menerima permintaan Sony
untuk menjadi kekasih hatinya.
“Aku
ingin sekali mengambil boneka ini, karena aku juga sangat mencintaimu. Apakah
aku juga boleh memanggilmu dengan sebutan pacarku?” Lita menjawab dengan yakin.
“Hmm pasti. Terima kasih Lita. Kamu sudah
mengijinkan aku untuk menjadi pacarmu.”
Seharusnya
aku juga bahagia melihat orang yang aku cintai juga bahagia walaupun bersama
orang lain. Aku memang harus belajar tersenyum melihat mereka bahagia. Air mataku
tak terbendung lagi. Aku menangis di tempat itu. Saat Lita melihatku menangis,
ia menghampiriku. Aku memeluknya sangat erat.
“Kau
kenapa?”
“Aku
bahagia.”
“Terima
kasih kau mau membantuku.”
“Tentu
saja aku mau. Kau kan temanku”
Aku
tak ingin melepas pelukan ini. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Lita
sudah bersama Sony.
Aku
membuka buku. Aku menyelipkan foto yang aku ambil secara diam-diam, fotonya saat
sedang bermain gitar. Senyumnya di dalam foto itu yang membuatku kembali
mencintainya. Ya, aku mengakui bahwa aku sangat hancur ketika aku tahu ia
mencintai Sony. Namun, apa dayaku? Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku juga harus
bahagia walaupun aku tak bersamanya.
I love you more than any word can
say
I love you more than every action I
take
I will be right here loving you
till the end
Aaaaaaaaaaaaa....
BalasHapusBikin galau cerpennya :((
hahahh emang ceritanya gitu vid^^
Hapus